Menanti Taji ULT UIN Alauddin Makassar Tangani Kejahatan Seksual
alanbantik-Deretan kasus pelecehan seksual di wilayah kampus mendorong UIN Alauddin Makassar membentuk Unit Layanan Terpadu (ULT) untuk menangani persoalan kejahatan seksual tersebut. Ekspektasi kinerja baik pun membumbung tinggi terhadap unit tersebut,
mengingat deretan kasus sebelumnya dinilai tak tertangani dengan baik hingga cenderung diabaikan.
Seperti dikutip dari kumparan, survey yang dilakukan oleh Mendikbud-Ristek pada tahun 2019, kasus kekerasan seksual di kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah transportasi umum (19%), dan jalanan (33%).
Kembali ke UIN Alauddin, berulangkali jadi sorotan atas kasus serupa. Sepanjang tahun 2018 hingga 2020, segar dalam ingatan kala ada kasus pelecehan seperti pemasangan kamera Go-Pro di toilet dengan mengincar mahasiswi, begal payudara, pelecehan oleh oknum Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dan juga aksi teror alat kelamin melalui aplikasi WhatsApp.
Menanggapi hal tersebut lah, pihak kampus membentuk lembaga ULT yang disetujui dalam Surat Keputusan (SK) tertanggal 21 Juni 2021. Lembaga yang diketuai Rosmini Amin tersebut saat ini berada dalam naungan Pusat Studi Gender & Anak (PSGA).
Lembaga ini diberikan wewenang untuk menangani segala permasalahan kasus pelecehan seksual yang terjadi di UIN Alauddin Makassar. Namun lembaga ini masih belum ada taji penanganan kasus meski telah dibentuk dan telah disetujui dari bulan Juni lalu.
“Terus terang ini belum bekerja maksimal, belum. Karena saya masih mau menunggu dulu bagaimana mendeklarasikan supaya semua orang tahu di kampus, karena jika tidak dideklarasikan orang tidak ada kan tahu, paling terbatas toh,” katanya saat ditemui tim alanbantik di gedung LP2M pada Jumat, 15 Oktober 2021.
Lebih lanjut, Rosmini mengungkapkan pihaknya membutuhkan peran para mahasiswa untuk mensukseskan peran lembaga ini.
“Karena biar kita ini desain diputar ini otak kalau kalian tidak ikut terlibat korban dan pelaku kan juga mahasiswa, tapi jika kalian yang ikut sekira maksimal jika mahasiswa yang ikut. Karena mahasiswa yang jadi korban toh, kadang-kadang orang diperlakukan kapan pelecehan namun dia tidak tahu dirinya jika ia mengalami itu dia diam-diam saja. Yang harus diberi tahu bahwa ini loh pelecehan ini namanya nah di colek-colek. Lapor kan disitu di SK, itu sangat jelas pelaporan nya bagaimana SOP punya itu sudah jelas sekali, teknisnya seperti apa,” jelasnya.
Menurutnya, meski pihak kampus telah menyediakan ruang dan segala bentuk dukungan jika para korban enggan untuk berbicara, maka akan terus menciptakan kasus-kasus baru yang bukan tidak mungkin akan semakin besar.
Rosmini menambahkan lembaga yang dipegangnya ini mempunyai kekuasaan untuk memotong segala jenis komunikasi antara korban dan pelaku yang membuat korban seharusnya tidak lagi khawatir.
“Kan kita jaga kerahasiaan nya, tidak usah takut, apa kau takuti. Saya punya kekuasaan kasih keluar dosen ini, tidak usah kau takut nilai mu di permasalahkan saya punya tanggung jawab itu, saya punya jaringan pimpinan untuk memotong hubungan kamu dengan bersangkutan, kamu tidak mungkin dikasih pembimbing dikasih penguji tidak ada hubungan nilai toh dalam situ, kalaupun berpasangan ganti dosen itu saya punya jaringan ke situ, saya sudah dikasih tugas SK, SK itu di dalamnya potong potensi potensi itu,” tegasnya.
Korban Pelecehan takut Mengadu
Tim alanbantik menemui tiga orang korban yang mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di UIN Alauddin Makassar. Di antara tiga korban tersebut, hanya seorang saja yang berani membuka diri terkait dengan pelecehan yang pernah dialaminya, lalu dua orang lainnya menolak untuk memberikan keterangan.
Perempuan dengan inisial SM mengakui pernah hampir mendapatkan tindakan tidak senonoh dari seorang seniornya di ruang LT Fakultas Syariah dan Hukum pada saat kegiatan Bedah Film.
SM yang semula terfokus pada film yang ditayangkan didatangi seorang seniornya yang mengajaknya berbincang. SM saat itu tak menaruh curiga hingga oknum seniornya tersebut mulai berlaku tidak sewajarnya.
“Awalnya semua berjalan dengan baik, sampai lampu di LT sengaja dipadamkan agar konsentrasi terfokus pada film yang sedang ditayangkan, di tengah tontonan film ada salah satu oknum senior saya di jurusan yang langsung duduk di samping saya mengajak berbincang-bincang dan tiba-tiba ingin menyentuh payudara dan mencium pipi saya. Spontan saya menghindar sambil mengumpat,” ungkapnya melalui aplikasi WhatsApp, 12 Oktober 2021.
SM mengaku kecewa, namun ia tidak mengambil jalur hukum. Hal ini dikarenakan ia mengkhawatirkan nama baik organisasi pelaku tercemar.
“Yang pertama, saya berfikir bahwasanya kasus ini bisa saja berbuntut panjang, yang kedua saya masih mempertimbangkan reputasi pelaku dan reputasi lembaga yang pelaku masuki,” jelasnya lebih lanjut.
Tim alanbantik kemudian mempertanyakan kepada korban mengenai apakah korban mengetahui terkait adanya lembaga yang bertanggungjawab atas korban pelecehan. Korban mengiyakan bahwasanya ia sangat mengetahui terkait adanya lembaga pengaduan tersebut.
“Saya sangat mengetahui. Karena peristiwa tersebut tidak berjarak jauh dengan PBAK yang dimana saya masih mengingat jelas ketika disampaikan perihal lembaga aduan yang disediakan oleh pihak kampus,” kata SM.
Meski mengetahui, namun korban memilih untuk tidak melapor dan memutuskan menghindari segala jenis bentuk komunikasi dengan pelaku.
“Menghindar. Awalnya ingin melapor ke pihak kampus yang berwenang mengatasi itu, cuma pada akhirnya saya urungkan. Saya lebih memilih memutus dan menghindari segala bentuk komunikasi terhadap pelaku,” tutupnya.
Komentar Lembaga Bantuan Hukum Makassar
Melihat banyaknya kasus pelecehan seksual UIN Alauddin Makassar tim alanbantik kemudian meminta komentar seorang Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Mira Amin.
Mira berpendapat bahwa banyaknya kasus pelecehan disebabkan beberapa faktor, salah satunya yakni kurangnya partisipasi dari pihak kampus.
“Ada juga misalnya yang di paparkan oleh teman-teman di kampus UIN bahwa pelecehan di sana itu memang masih marak cuman untuk penanganannya itu masih minim. Masih minim partisipasi gitu. Terutama misalnya dari pihak kampus. Karena dari kampus UIN sendiri sih belum punya SOP penyelesaian kasus pelecehan seksual gitu. Padahal kan sejak, kalau tidak salah tahun 2019 atau 2020 itu yah sudah ada SK dari Kementrian Agama soal SOP penyelesaian kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual untuk kampus islam negeri gitu,” jelasnya.
Menurutnya, lembaga kampus yang telah disediakan masih kurang dalam memberikan pendampingan dan sosialisasi mengenai korban pelecehan seksual.
“Iya kalau di UIN sendiri memang sudah ada lembaga yang menaungi pencegahan pelecehan seksual nah namun perlu juga diperhatikan bahwa kenapa kira-kira si korban pelecehan seksual itu enggan untuk speak up atau misalnya enggan untuk berbicara gitu terkait perkara atau kasus yang sedang dia hadapi. Nah kita juga misalnya tidak bisa memaksa korban untuk harus speak up kebanyak orang atau harus speak up mampu memblow up kasusnya dan diketahui oleh banyak orang karena perlu diperhatikan bahwa dalam mendampingi korban kekerasan seksual itu berbeda dengan ketika kita mendampingi korban kekerasan akademik,” ucapnya.
Mira kembali mengungkapkan bahwa salah satu hal yang memicu kurangnya pengakuan mahasiswi yang pernah menjadi kasus pelecehan ini dikarenakan lembaga terkait kurang melakukan sosialisasi yang meyakinkan para korban.
“Jadi penyadaran-penyadaran yang seperti itu sosialisasi soal korban kekerasan seksual masih punya opsi untuk melakukan hal lebih terhadap dirinya itu tentu menjadi poin penting untuk dilakukan oleh teman-teman lembaga,” kata Mira.
Lembaga yang berwenang pun hendaknya memberikan sosialisasi kepada para mahasiswa agar mereka yang mengalami hal tersebut mengetahui tindakan selanjutnya.
“Misalnya ternyata ada teman-teman mahasiswa yang tidak tahu oh ada lembaga pencegahan, oh sudah ada SOP, ketika saya menjadi korban kekerasan seksual saya bisa melapor saya bisa melakukan ini saya bisa melakukan itu nah itu yang kadang tidak dipahami oleh teman-teman mahasiswa yang lain jadi tugas lembaga dan tugas teman-teman yang fokus mengadvokasi atau mendampingi korban kekerasan seksual adalah mengsosialisasikan hal itu gitu,” tutupnya kepada tim alanbantik.
Implementasi Lembaga ULT
Berdasarkan pandangan LBH mengenai kurangnya sosialisasi terkait adanya lembaga pengaduan, tim alanbantik kemudian mempertanyakan hal tersebut ke Rosmini.
Rosmini mengatakan bahwa ia akan melakukan sosialisasi tak hanya untuk mahasiswa namun juga melibatkan dosen.
“Saya sudah presentasi di hadapan semua pimpinan, saya bilang ini tidak hanya disosialisasikan pada mahasiswa namun juga dosen dan tenaga pendidik.
karena pelakunya juga tidak hanya datang dari mahasiswa,” ungkap Rosmini.
Kepada alanbantik, Rosmini mengungkapkan bahwa implementasi kerja dari lembaga UPT ini akan di garap awal bulan November mendatang.
“Awal bulan November memang harus saya garap ini ULT, saya akan panggil semua Wadek 3 untuk rapat kan dan akan ada bikin papan acara, website,” tambahnya.
Diketahui bahwa Lembaga ULT ini memiliki 3 divisi nantinya yang akan bertugas menangani masalah yang dibutuhkan oleh korban. Divisi tersebut terdiri atas divisi Pencegahan, Divisi Pendampingan Hukum, serta Divisi Pemulihan yang melibatkan para dosen Tarbiyah dan Jurusan Konseling yang berada di Kampus.
Lebih lanjut, Rosmini kemudian mengungkapkan harapannya terkait adanya lembaga ULT. Ia berharap mampu meminimalisir kasus pelecehan seksual yang terjadi di UIN.
“Mudah-mudahan setelah sk ini keluar disosialisasikan apalagi kalau sempat kita deklarasi kan itu kalau tidak bisa menghilangkan sama sekali paling tidak bisa mengurangi sampai tingkat terendah.
karena itukan di indikator perguruan tinggi responsif gender pada poin ke 10 ada zero toleransi kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki, kenapa di indikator paling bawah karena kalau itu di depan takut ki langsung karena yang dibahas tentang pelecehan seksual,” Tutupnya.
Penulis:
Husnunniah Takbir, Nur Aryanti, Rasmita (Reporter Magang)
Editor:
Tim Redaksi