Surat di Ujung Timur

Sebelum matahari terbit, Risma terbangun. Hal ini ia lakukan karena ia harus berada di sekolah lebih awal untuk mempersiapkan perlengkapan upacara sebelum para murid berdatangan. Tentu saja, hal ini sudah menjadi rutinitas yang harus ia lalui tiap hari Senin yaitu mempersiapkan upacara penaikan bendera dalam rangka menghargai para jasa pahlawan.
Risma adalah seorang guru yang mengajar di salah satu sekolah dasar pedalaman yang terletak Kalimantan timur. Jarak antara rumah dan sekolah sekitar dua kilometer yang membuat Risma setiap harinya harus membiasakan diri untuk bangun pagi agar tidak terlambat. Ditambah lagi jalanan menuju sekolah yang tidak semulus jalanan perkotaan.
“Bu makan dulu sini” teriak Risma yang berada di meja makan
“Uhuk…uhuk..”
Tak ada jawaban. Hanya suara batuk yang terdengar dari kamar Ibu Risma. Sudah lama Risma harus merawat Ibunya dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain untuk mengajar para murid sebagai tujuan utama, Risma juga harus membiayai kehidupan sehari-hari dan kesehatan Ibunya. Hal itu lah yang menjadi salah satu penyebab sampai detik ini ia rela menempuh jalan berkilo-kilo meter untuk mengajar.
Karena Ibunya tak kunjung keluar, Risma akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar Ibunya.
“Bu, kalau tidak sanggup berjalan aku bawakan makanan saja yah” ucap Risma sambil mengelus pundak Ibunya
“Tidak usah Ris. Nanti Ibu keluar sendiri. Lebih baik kamu berangkat sekarang nanti terlambat” jawab Ibu Risma
Ibu mencoba meyakinkan Risma bahwa dirinya baik-baik saja. Melihat Risma yang setiap hari harus mengurusnya sebelum berangkat mengajar, tak jarang membuat Ibu merasa tak enak hati. Meski sedang terburu-buru dikejar waktu, Risma yang setiap pagi selalu menyempatkan membuat sarapan semakin meyakinkan Ibunya bahwa tak ada yang ia berikan kepada Risma kecuali kesusahan
Ibu menatap Risma dengan tatapan sendu.
“Besok-besok tidak usah bikin sarapan lagi yah nak” ucapnya pelan
“Loh memangnya kenapa Bu?” tanya Risma bingung
“Masakan Risma tidak enak yah Bu?” ucapnya lagi
Ibu hanya menggeleng pelan. Terkadang penyakit yang diderita membuat Ibu sangat sulit untuk berbicara, meski hanya satu kata
Risma yang mengerti tentang hal itu pun hanya mengangguk. Ia juga tak ingin memaksakan sesuatu yang membuat Ibunya nantinya akan semakin sakit.
Risma mencium tangan Ibunya dengan lembut. “Ya sudah aku pergi dulu yah Bu” pamit Risma
Matahari di luar sudah menampakkan cahayanya. Risma pun berangkat ke sekolah untuk menunaikan tugasnya sebagai seorang pengajar. Setelah berjalan kaki sekitar 20 menit, Risma dikagetkan dengan suara klakson motor dari belakang.
Risma spontan tersenyum. ”Ku pikir kamu masih tidur Wan” kata Risma bercanda
“Heh, enak aja. Aku kan guru yang teladan hahahahah” Darmawan tertawa renyah membalas candaan Risma.
Sebagai sesama guru, Darmawan sangat kagum dengan sosok Risma. Perempuan muda, cantik, serta mempunyai jiwa pekerja keras. Tidak ada alasan bagi Darmawan untuk tidak menaruh rasa terhadap Risma. Tetapi ia sadar akan prinsip Risma yang tidak ingin mencari pasangan. Hal itu sempat membuat Darmawan kecewa. Meskipun begitu, ia tetap memberi tumpangan kepada Risma jika ingin berangkat mengajar. Jika tak bisa memiliki, setidaknya dia bisa mencari celah untuk dekat dengan Risma.
“Ya sudah ayo naik!” pintah Darmawan kepada Risma
Tanpa berpikir panjang, Risma segera menaiki motor Darmawan. Selama perjalanan Darmawan berusaha untuk mencairkan suasana yang menurutnya sangat canggung, dengan mencoba menceritakan tentang murid-murid yang dia ajar. Risma hanya terdiam dan sesekali tersenyum tipis.
Risma sedang tak ingin berbagi pengalaman mengajar. Selama perjalanan, Risma hanya memperhatikan setiap jalan bebatuan yang dilewati. “Kapan jalanan ini bisa diperbaiki?” seperti itulah pertanyaan dibenak Risma saat ini.
Fokus Risma teralihkan dengan rombongan murid yang sedang berjalan di depan sana. Seakan jarak yang sangat jauh sama sekali tak menguras semangat mereka untuk menuntut ilmu. Setiap hari berjalan kaki menempuh kejauhan untuk sampai di sekolah tidak masalah bagi mereka.
Tak jauh di belakang Risma, terlihat sebuah mobil pickup pengangkut barang sedang menuju kota. Dan seperti yang Risma duga, mobil itu memberi tumpangan ke para murid untuk sampai ke sekolah. Raut bahagia mereka seakan menggambarkan keberuntungan yang sangat istimewa. Sungguh kebahagiaan yang sangat sederhana.
“Kamu mau di atas motor terus atau mau masuk ke sekolah?” ujar Darmawan mengagetkan.
Pertanyaan Darmawan menyadarkan Risma. Terlalu asik memikirkan murid-murid yang di temui tadi membuat Risma lupa diri bahwa dia sudah berada di parkiran sekolah.
“Ehh i..iya iya” ucap Risma malu
Sesampainya di lapangan sekolah, Risma dan Darmawan langsung mempersiapkan perlengkapan upacara. Seperti bendera, naskah protocol, dan petugas pelaksana upacara lainnya.
Ditengah kesibukannya, Risma dihampiri oleh Kepala sekolah
Risma kemudian menyapa Kepala Sekolah dengan sedikit membungkukkan badan
”Pagi pak” sapa Risma sopan
“Pagi juga Ibu Risma. Setelah upacara saya mau bicara sama ibu. Bisa kan?” Kata Kepala sekolah
Risma mengangguk.” Bisa pak. Nanti saya ke ruangan bapak” jawab Risma
Jam telah menunjukkan angka 7 lewat 30 menit. Itu artinya upacara sebentar lagi akan dilaksanakan. Para murid telah berkumpul di lapangan yang ukurannya tidak terlalu luas. Meski hari Senin adalah hari yang melelahkan bagi sebagian murid atau siswa di sekolah lain, tetapi tidak dengan murid di sekolah ini. Tidak ada wajah lelah, yang ada hanya wajah antusias menyambut dikibarkannya bendera.
Sebagai seorang guru, Risma hanya ingin membuktikan dan memperlihatkan ke semua orang bahwa sekolah yang terletak di kampung terpencil, sekolah yang dikelilingi oleh hutan, adalah sekolah dengan murid yang pikirannya tidak terbelakang dari segi pendidikan sampai hal yang menyangkut sejarah dan pahlawan negara. Yang bukan hanya sekedar katanya tetapi memang begitu nyatanya.
Di tengah pelaksanaan upacara, lagi-lagi Risma teralihkan. Kali ini bukan kepada murid tetapi Risma merasa miris melihat barisan para guru yang hanya ada lima orang termasuk dia dan Darmawan. Sebenarnya bukan murid yang perlu dibina dan dibimbing tetapi para pengajar itu sendiri. Sungguh ironi. Di saat para murid dengan semangatnya belajar tetapi orang yang seharusnya bertugas sebagai pengajar tak peduli dan mengacuhkan tanggung jawabnya.
Tak terasa upacara telah selesai. Para murid pun diperintahkan untuk bubar. Sebagian murid langsung masuk ke kelasnya masing-masing dan sebagian yang lain ada yang masih berkeliaran di lapangan sambil bermain kejar-kejaran layaknya anak-anak.
Risma yang tadi sudah memiliki janji untuk bertemu Kepala sekolah langsung menuju ke ruangannya.
“Tok tok tok, assalamualaikum pak” ucap Risma
“Waalaikumsalam. Masuk bu Risma” jawab Kepala Sekolah
Risma melihat Kepala sekolah sedang memegang sebuah buku. Bukan buku bacaan tetapi buku keuangan anggaran sekolah.
“Jadi begini bu Risma. Saya sudah melihat anggaran pengeluaran sekolah dan saya rasa itu sangat tidak sesuai dengan dana yang sekolah miliki saat ini bu. Setiap bulan pengeluaran semakin bertambah tetapi pemasukan dana sangat tipis. Sudah enam bulan pemerintah tidak memberikan anggaran yang telah dijanjikan, belum lagi ada beberapa atap kelas yang harus diperbaiki,” jeda Kepala Sekolah sambil membuka kacamatanya.
“Maaf bu, kemungkinan besar gaji para guru akan ditahan sampai tiga bulan ke depan” ucap kepala Sekolah dengan nada menyesal
Entah bagaimana Risma harus menanggapi ucapan kepala sekolah. Saat ini Risma sangat butuh uang untuk pengobatan Ibunya. Tetapi di sisi lain Risma tak punya wewenang dalam hal ini. Sebagai sesama pengajar, Risma mencoba mengerti kondisi yang sedang terjadi di sekolahnya.
Setelah pertemuannya tadi dengan kepala sekolah, Risma segera pergi dan berjalan menyusuri koridor sekolah untuk menuju kelas yang akan diajarnya. Risma pun sampai di kelas.
“Selamat pagi anak-anak” Sapa Risma dengan ceria
Masalah gaji yang akan ditunda tak mempengaruhi semangatnya untuk mengajar. Risma tau, tenaga muridnya sudah terkuras banyak dalam perjalanan menuju sekolah, sangat tidak mencerminkan sosok guru jika Risma melibatkan masalah pribadinya dalam proses mengajar.
Risma menggoda muridnya.”Tadi waktu upacara pasti kalian haus kan?”
Semua murid bersorak. Ada yang mengatakan tidak ada juga yang mengatakan iya
Situasi seperti ini yang membuat Risma tak kenal lelah dalam mengajar. Situasi di mana kelas dipenuhi suara bising dari muridnya. Murid yang bersekolah di tengah hutan tapi mempunyai cita-cita yang tak kalah dari murid yang bersekolah di kota dengan gedung bertingkat. Baginya kualitas seorang pengajar tak bisa dinilai dari seberapa dia dapat menghasilkan uang, tetapi kualitas seorang pengajar dinilai bagaimana dia paham akan tanggung jawabnya untuk mencerdaskan anak bangsa.