Surat
Di suatu hari, di antara langit dan bumi
di seberang jalan macet dan kendaraan padat
aku menemui dirimu. saat itu di perjalanan
hati dalam gusar-gusarnya
beribu cara dan pikiran berkecamuk dalam jiwaku
meronta untuk hal mendatang yang sedang dilema
Saat menutup mata, kau tahu ?
diam-diam aku ingi menjadi selimut
menemanimu saat dinginnya malam merasuk
dan sunyi yang mulai menjemput
aku selalu ingin jadi selimut yang siap menghangatkanmu sepanjang malam,
lalu kau meronta untuk hal mendatang yang sedang dilema
Saat menutup mata, kau tahu ? diam-diam…
aku ingin menjadi selimut.
menemanimu saat dinginnya malam merasuk
dan sunyi yang mulai menjemput
aku selalu ingin jadi selimut yang siap menghangatkanmu sepanjang malam,
lalu kau merapikannya di pagi hari,
dan kembali memelukku di malam-malam setelahnya
aku selalu ingin menjadi selimut.
ketika kotor dan bau kau bersihkan
dan kembali menggunakannya di malam hari
sesederhana selimut, sebab dengannya kau tak pernah bosan
Saat itu aku masih berharap kau terlelap,
dengan begitu aku bisa memandangimu sesuka hati
dan saat kau terbangun, pertemuan ini telah kurencanakan
pertemuan yang akan menyisakan makna,
menitipkan kisah dan sedikit mebikin, atau mungkin banyak.
sejujurnya, di detik ini aku ingin menitip rindu,
namun kusadari menitip sama saja dengan menumbuhkan kembali.
bukankah rindu ini sudah tidak pantas ?
tidak boleh tersisa, maka kutuliskan surat untuk mencicil rindu yang menggenang,
menggenangmu di detik-detik kepergian.
Sri Wahyuningsih
Jurnalistik 2014