Sesuatu yang Hilang

Di teras rumah, aku dan Ayah sedang menyeruput secangkir teh hangat sembari sesekali dihembus angin sejuk di sore hari. Tawa derai bahagia terlihat dari orang-orang di sekitar jalan, kecuali rumah di seberang sana.
“Dasar kamu anak bodoh. Disuruh belajar bukannya tambah pintar malah semakin bodoh.” Seru Ibu Dimas.
Kalimat kasar dengan suara bentakan seringkali terdengar di ujung rumah itu. Mulut sang Ibu komat kamit, sedangkan anaknya terus menunduk. Aku menatap dari depan rumah, bukannya berhenti beradu, namun malah semakin mengadu.
“Lihat anaknya Ibu Lili sering sekali dapat peringkat satu. Tapi kamu masuk sepuluh besar saja tidak mampu,” Katanya. “Memang kamu bodoh sejak lahir sih.” Lanjutnya sambil menunjuk. Anak lelaki itu menangis tersedu-sedu namun sang Ibu justru meninggalkannya sambil tertawa seakan dia memenangkan sesuatu.
Aku menatap Ibu itu, namun tak kusangka dia membalasku dengan senyuman. Aku merasa sangat ingin menjahit mulutnya dengan tanganku. Barangkali, ia tercipta dari sebuah bara lantaran seringnya kudapati ia dengan penuh luapan emosi.
Waktu terus berjalan. Aku melihat anak lelaki itu di beranda rumahnya. Bajunya kusam, rambutnya mengkilap karena berminyak seperti belum mandi selama seminggu. Ia bersimpuh sambil melipat kedua kakinya. Ia termenung dengan badan yang digoyang goyangkan dan menatap penuh murung. Rumah itu lamat-lamat menjadi muram.
“Ayah kenapa anak itu tidak melawan saat disakiti?” Tanyaku.
“Karena dia ingin menjadi anak yang baik untuk orang tuanya.” Kata Ayahku. Aku baru saja melihatnya dari teras rumah.
“Kau tahu, orang tua kadang berkata kasar karena mereka percaya kalau anak mereka akan berubah menjadi lebih baik. Padahal nyatanya, perkataan orang tua bisa saja memperburuk perasaan dan pikiran sang anak.” Lanjut Ayahku.
“Karena mampu mempengaruhi mental anak, Yah?” Tanyaku lagi.
“Ya, begitulah,” lanjut Ayah. “Anak-anak butuh bimbingan bukan makian.”
“Ayah, kurasa anak lelaki itu sedang tidak baik-baik saja di sana.” Kataku pelan.
“Sudah pasti.” Ujar Ayahku.
Entah sudah berapakali kulihat anak itu diam. Hidupnya hampa seperti hilangnya sebuah mimpi. Hingga tiba saat semua anak seumurannya sedang bermain, namun tidak dengan dia. Sesekali ia melihat penuh harap. Sang ibu menghampirinya, dengan sigap dia menarik anak lelaki itu masuk ke dalam rumah.
Tiba-tiba saja isak tangis terdengar ngilu dari dalam rumah. Sesekali terdengar suara lelaki berusaha menenangkan suara tangis disela-sela suara sang ibu yang semakin meninggi. Sontak membuat hati semua orang yang berlalu di depan rumah itu merasa iba kepadanya, aku bisa melihat ekspresi mereka.
“Sedang apa kamu di luar, ha? mau main juga? belajar sana supaya kamu bisa jadi anak yang pintar.” Kata sang ibu dengan nada suara yang tinggi.
Esoknya, anak lelaki itu kembali duduk di teras rumah, wajahnya sumringah. Pakaiannya rapi dan rambutnya bersih mengkilap. Hanya saja bekas luka terlihat jelas di siku dan juga kakinya. Badannya memar menonjol tapi baginya mungkin ini hanyalah sebuah hiasan biasa yang melengkapi tubuhnya.
Sang Ibu keluar dengan benda di tangannya, lalu wajah sang anak yang tadinya berseri-seri tiba-tiba menjadi kisut.
“Dasar yah kamu. Anak tidak tahu diri, sudah berapa kali Ibu bilang hati-hati saat mencuci piring. Lihatkan! Piring mahal Ibu jadi pecah karena kebodohanmu.” Seru sang Ibu.
Kali ini anak itu tidak menangis. Ia menatap balik Ibunya yang membuat sang Ibu tambah murka. Walaupun dihempas, anak itu diam membeku tak bergeming. Matanya tak berkedip yang ada hanyalah tatapan kosong. Aku merasa ia kembali seperti anak yang kemarin. Ada raut pasrah pada wajah anak lelaki itu.
“Ayah kenapa dia tak menangis lagi?” Tanyaku.
“Ayah pikir, ia sudah hilang harapan, sayang.” Desisnya pelan.
Aku terdiam. Apakah benar anak lelaki itu sudah hilang harapan? Pikirku lagi, hingga tampak wajah Ayah yang sedikit acuh.
Esoknya, aku dan Ayah duduk di teras rumah menikmati secangkir teh dan beberapa potong biskuit. Tiba-tiba mataku tertuju pada rumah malang itu. Si anak tak telihat lagi di sana. Aku mencarinya di teras rumah, tapi tak pernah lagi sosoknya ada. Aku merindukannya. Sesekali wajahnya yang penuh gundah terlintas dilamunanku. Suara tangisnya yang tak lagi terdengar, tergiang-giang di telingaku.
“Ayah kemana anak itu pergi?” Tanyaku pelan.
Ayahku diam dalam nyaman. Tak ada jawaban darinya, anak itu tetap tak tampak lagi di teras rumah. Matahari makin menjauh dari pelupuk mata, berubah warna menjadi merah jingga. Burung-burung beterbangan kesana kemari dan angin sejuk terasa menembus kulit, hingga aku merasa ada sesuatu yang hilang saat itu.
“Harusnya sore ini dia sedang duduk di teras rumahnya kan Ayah?” Tanyaku penuh yakin.
Ayahku diam membisu. Aku meraih tangannya yang dingin. Aku tertegun, mengetahui kalau ayahku telah tiada. Ternyata selama ini, aku hanya terlalu sibuk mengurusi rumput tetangga, aku lalai terhadap kewajibanku sampai tidak menyadari bahwa bunga di rumahku sudah tak akan mekar lagi.
Penulis : Umrah