penghianat Sejarah

Aku hanya terdiam melihat Kakek meneteskan air mata sambil menggenggam sebuah koran. Koran yang tadinya terlihat baru sekarang berubah menjadi sebuah sampah yang sudah lama tak dibuang. Kusut dan basah dipenuhi air mata. Meski aku tidak merasakan secara langsung tetapi aku bisa melihat kesedihan yang mendalam dari wajah Kakek.
“Bagaimana bisa mereka ingin menghapus sejarah dari bangsa ini?” Tanya Kakek dengan suara yang tak jelas
Air mata yang semakin membasahi wajah membuat berkata pun sudah sulit Kakek lakukan. Menunduk melihat apa yang dia genggam membuat semuanya semakin terlihat jelas bahwa pikiran Kakek sedang tidak baik-baik saja. Ini bukan masalah koran itu tetapi ini masalah tentang apa yang tertulis di sana
“Kami yang mati-matian membuat sejarah, sekarang mereka dengan mudah menghilangkannya”
“Menyesal aku tidak memperhatikan mata pelajaran sejarah waktu sekolah” Gerutuku dengan nada menyesal
Tak hanya Kakek, aku pun merasa bingung mengetahui bahwa pelajaran sejarah akan dihapus sebagai salah satu pelajaran kurikulum. Mengapa harus sejarah?.
“Kek, memangnya apa yang terjadi kalau pelajaran sejarah dihapus?”
Kakek yang dari tadi hanya menunduk sambil menahan tangis tiba-tiba saja fokusnya teralihkan, dan ku rasa itu karena pertanyaanku. Dan melihatku dengan tatapan yang sendu.
“Mungkin tidak akan terjadi apa-apa nak, tetapi bagaimana dengan kami yang dulu hampir setiap hari berhadapan dengan kematian. Perjuangan kami tidak butuh imbalan, diingat saja kami bersyukur”
Setiap kata yang keluar dari mulut Kakek terdengar sangat menyakitkan baginya. Aku tau Kakek adalah seorang pejuang kemerdekaan pada waktu itu. Meski aku secara langsung tidak mendengar Kakek bercerita, tetapi kejadian itu cukup menguras tenaga dan air mata. Ditambah lagi kenyataan bahwa akan dihilangkannya jati diri bangsa pastinya sangat menyayat hati.
“Yang hanya aku tau indonesia pernah dijajah Kek, apa Kakek bisa cerita apa yang terjadi setalah penjajahan itu?” Pintaku ke Kakek
“Kamu sudah lulus SMA tapi pengetahuan kamu hanya sebatas itu?”
Aku hanya tersenyum malu saat Kakek bertanya seperti itu. Ya mau bagaimana lagi, aku adalah salah satu orang yang tidak mempunyai minat dengan sejarah. Pembahasan yang panjang dan membosankan membuatku sama sekali tidak tertarik. Tetapi entah mengapa saat ini aku merasa sejarah adalah sesuatu yang penting. Melihat Kakek pertama kali menangis hanya persoalan masa lalu membuatku penasaran dengan apa yang terjadi waktu dulu.
Kakek memulai ceritanya sambil menatap lurus ke depan,
“Mendengar ledakan dimana-mana sampai melihat orang tertembak adalah hal yang tak asing buat Kakek. Sejak kecil Kakek sudah dibiasakan dengan peperangan, salah satu hal yang Kakek syukuri sampai sekarang adalah Kakek bisa bertahan ditengah kondisi hidup atau mati. Waktu itu kakek berusia 15 tahun, petama kali Kakek ikut berperang melawan Belanda.”
“Umur Kakek masih sangat muda, apa Kakek diperbolehkan berperang?” Tanyaku di sela kekusyukan Kakek bercerita
“Waktu itu tidak ada perbedaan usia. Semuanya tergantung dari diri masing-masing. Jika merasa sanggup berperang dan tak takut mati, siapapun bisa bergabung. Ada yang usianya jauh lebih tua dibanding Kakek, tapi dia hanya duduk diam di depan teras rumah sambil memandangi rombongan pejuang yang sedang menuju ke medan perang. Ada juga yang usianya masih 8 tahun tetapi dia lebih dulu merasakan sakitnya ketika peluru Belanda menembus dadanya. Sekali lagi semuanya tergantung kesanggupan dan kesadaran diri masing-masing.”
Semakin lama aku semakin tertarik mendengar cerita Kakek, hingga tak sadar teh manis yang seharusnya untuk Kakek malah aku habiskan sambil mendengar cerita. Dengan tidak enak hati aku meminta izin untuk ke dapur membuat minuman lagi.
“Jadi bagaimana rasanya Kek ikut berperang?” Tanyaku menggebu-gebu setelah membawakan secangkir teh panas
Kakek menarik nafas panjang. Bekas air mata masih terlihat di wajahnya. Kakek melanjutkan ceritnya.
“Pertama kali Kakek masih gugup, tetapi untuk kesekian kalinya tak ada gugup atau canggung sekalipun. Berperang mengajarkan Kakek arti dari berjuang sesungguhnya. Tak ada lagi impian atau cita-cita kecuali keinginan untuk memerdekakan bangsa.”-Kakek meminum teh sejenak-“ meski di sisi lain kami hanya menunggu giliran ajal menjemput kami. Pada saat itu juga kebanyakan masyarakat meninggal bukan karna penyakit menular atau semacamnya, tetapi semuanya berakhir di tangan Belanda. Kakek terkadang miris jika mengingat hal itu, bisa selamat dari serangan penjajah adalah suatu keajaiban”
Aku semakin merasakan kengerian, tak sengaja aku membayangkan jika aku berada di posisi Kakek waktu itu. Dihantui kematian dan dibayang-bayangi oleh penjajah yang kejam. Sesuatu yang terlalu berat jika dipikirkan.
“Kenapa Kakek ingin ikut berperang? Bukannya Kakek tau akan lebih mudah mati jika melwan penjajah”
Kakek tersenyum. Senyum pertama yang ku lihat setelah dia bersedih beberapa waktu yang lalu.
“Satu persatu pejuang gugur. Setiap hari kami harus menguburkan ratusan mayat, termasuk ayah kakek. Kakek berpikir jika tidak ada yang meneruskan perlawanan, perjuangan para pahlawan yang telah gugur akan sia-sia.”
Aku pun mengangguk paham. Ternyata selain Kakek, ayah Kakek juga adalah seorang pejuang kemerdekaan. Wajar jika Kakek memutuskan untuk ikut berperang. Selain untuk merebut kembali tanah air, Kakek juga diwarisi darah pahlawan dari ayahnya.
“Tapi bagaimana bisa Kakek mampu bertahan sampai sekarang?. Bukannya Belanda terlalu baik jika membiarkan orang seperti Kakek tetap hidup”
“Hampir setiap waktu kakek habiskan untuk berperang. Bersembunyi dari hutan satu ke hutan yang lain. Melakukan penyamaran sebagai tak tik berperang bukanlah sesuatu yang mudah. Tetapi pernah suatu ketika, ujung pistol Belanda sudah ada di depan mata Kakek. Kakek berpikir mungkin saat itu adalah detik-detik terakhir Kakek. Kakek sudah memasrahkan semuanya kepada tuhan, setidaknya Kakek diberi kesempatan untuk memperjuangkan bangsa sebelum mati. Tapi,”
“Entah dari mana asalnya sebuah peluru mengenai penjajah lebih dulu. Kakek membuka mata, Kakek melihat seorang pria yang seumuran dengan kakek berada di balik pohon besar sambil tersenyum. Sementara 3 penjajah tadi telah terkapar di tanah. Namanya Parjo, dia sudah menggeluti dunia perang waktu masih berumur 10 tahun. Dia seorang anak yatim piatu. Awalnya dia hanya merasa kesepian sehingga dia memutuskan untuk ikut berperang, dan dia bisa bertahan dari serangan Belanda selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sampai sekarang”
“Jadi karna Parjo itu Kakek bisa selamat?”
Aku semakin terbawa suasana. Cerita Kakek seakan-akan membuatku bisa melihat apa yang terjadi waktu itu.
“Tuhan mengrim parjo untuk menyelamatkan Kakek. Sejak saat itu Kakek selalu bersama dia. Saling membantu dan saling melindungi.” Kata Kakek
“Tadi Kakek bilang Parjo bisa bertahan sampai sekarang, itu artinya dia masih hidup? Sekarang dia ada di mana Kek?”
Kakek menatapku sambil tersenyum.”Jika Kakek mengatakan saat ini dia bekerja sebagai pengangkut sampah apa kamu percaya?”
Aku terdiam mendengar jawaban Kakek
“Bangsa ini terlalu kejam jika harus menghapus ingatan tentang sejarah. Bahkan tanpa menghapus sejarah, orang-orang sudah lupa tentang para pejuang terdahulu. Bukan hanya lupa, mengetahui kehidupannya saja adalah sesuatu yang tak penting bagi mereka”
Seketika aku berpikir bahwa setetes keringat para pahlawan terlalu berharga jika harus tergilas oleh perubahan zaman yang katanya berkemajuan namun nyatanya masih tidak baik-baik saja