Bentrok Jadi Tradisi Lama, Ini Tanggapan Pengamat Politik
alanbantik – Aksi bentrok yang kembali terjadi antar dua kelompok di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, yakni mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) dengan Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) pada Selasa pekan lalu, sukses mengantarkan argumentasi mahasiswa seakan bentrok adalah tradisi lama. Hal ini turut menjadi perhatian salah seorang pengamat politik dari kampus peradaban tersebut.
Fajar, Salah Seorang Dosen dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, sekaligus pengamat politik di UIN Alauddin Makassar, mengungkapkan bahwa aksi bentrok tersebut seolah ingin menunjukkan jati diri mereka secara demonstratif yang terlihat anarkis.
“Mereka (mahasiswa yang bentrok) seperti ingin menunjukkan jati diri mereka secara demonstratif yang terlihat anarkis dan mereka mempertontonkan jati diri mereka. Kelompok cendikia seolah bangga jika salah satu fakultas yang bentrok hancur kelasnya, hancur fasilitas belajarnya dan mereka anggap itu adalah sebuah kemenangan,” ungkap Fajar kepada tim alanbantik via Whatsapp pada Jumat, 1 April 2022.
Lebih lanjut Fajar mengungkapkan pandangannya terhadap mahasiswa di lapangan yang seolah ingin memperlihatkan kelompoknya lebih dari kelompok yang lain.
“Saya melihat mereka di lapangan seolah ingin memperlihatkan solidaritas kelompok, bahwa kelompok saya paling berkuasa, paling solid, identitas kami paling bagus dan berpengaruh, padahal mereka mengorbankan harta benda yang mereka bangun sama-sama berupa fasilitas pendidikan. Yang terlihat adalah kerumunan pemuda yang tidak stabil emosinya,” lanjutnya.
Ia menjelaskan bentrok bisa terjadi karena banyak faktor yang bisa mempengaruhinya terutama dalam lingkup fakultas, baik itu berupa ketersinggungan, dominasi senior ke junior dari kuatnya kelompok dan identitas kelompok.
Ia turut memberikan pandangannya terhadap banyaknya dugaan bahwa bentrok ini sengaja dibuat untuk maksud tertentu.
“Lucu kalau kita menduga mereka sengaja tawuran karena meminta libur ditambah lantaran akan menyambut hari suci Ramadhan. Seolah-olah budaya tawuran ini sengaja mereka bentuk, agar bisa mempengaruhi beberapa kebijakan kampus dan yah, maklumat Rektor tentang perkuliahan online kembali di putuskan untuk beberapa waktu ke depan,” ujar Fajar.
Sebagai salah seorang pengajar di UIN Alauddin Makassar, ia turut kecewa terhadap kejadian bentrok yang kembali terulang.
“Kita tentunya kecewa karena kejadian ini kembali terulang kembali, padahal 3 tahun kita libur (online) karena di rumahkan lantaran virus corona dan ketika mulai berjalan perkuliahan normal, walau dengan strategi mengatur angkatan semester 2 dan 4 yang offline di kampus tapi tak menyulut mahasiswa untuk tetap bentrok, bahkan terlihat dengan massa dan populasi yang besar dari kedua fakultas tersebut,” lanjutnya pada tim alanbantik.
Ia menyayangkan kejadian ini sampai disiarkan oleh media-media dan terlihat bahwa itu sebuah tradisi lama dalam kalangan mahasiswa.
“Publik luas melihat tawuran ini, disiarkan oleh media lokal, media nasional dan videonya tersebar dimana-mana lewat platform sosial media. Memori publik teringat dengan baik dan terjadi lagi seolah akal publik mengamini, bahwa itu tradisi. Seolah menjadi budaya yang sengaja di konstruksi,” tuturnya.
Fajar dalam pandangannya juga mempertanyakan keberadaan lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di UIN Alauddin Makassar untuk hadir mencari solusi dalam masalah seperti ini.
“Kemana lembaga mahasiswa HMJ, BEM, DEMA, SEMA sampai lembaga eksternal kampus, kenapa solidaritas dan politik identitas semakin menguat di kalangan mahasiswa, kemana sikap-sikap berjejaring, berkoalisi dan menghidupkan narasi dan wacana agar Kita saling mengenal. Saling bertukar gagasan dan ide, membuat arena gagasan bukan arena tawuran,” ucapnya.
Ia kembali mengatakan bisakah lembaga mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum dengan Fakultas Sains dan Teknologi, serta lembaga mahasiswa lainnya lebih sering menggalang budaya tutur, budaya diskusi, budaya kerjasama kelembagaan yang melibatkan akal dan fikiran. Sudah hilangkah budaya diskusi sehingga tawuran menjadi tombol paling empuk untuk memupuk emosi?
Meskipun demikian, ia turut mengutarakan beberapa solusi yang dapat digunakan dalam menjembatangi keharmonisan di dalam UIN Alauddin Makassar.
“Kampus harus menjadi laboratorium keilmuan bagi mahasiswa agar segala bentuk perilaku negatif tidak berkembang. Kita harus menghidupkan kembali mesin keilmuan, advokasi sosial lewat lembaga kemahasiswaan seperti HMJ, BEM, DEMA dan lembaga eksternal dengan mengkaji persoalan kemanusiaan yang lebih utama. Buat jembatan keilmuan dari Saintek ke Syariah agar mereka saling mengenal, saling toleran dan saling merangkul dalam hal keilmuan agar tembok tembok politik identitas terurai, tak ada sekat ilmu siapa yang lebih baik dan kelompok siapa yang lebih utama,” ulasnya.
Kilas Balik Aksi Tawuran di UIN Alauddin Makassar
Aksi tawuran yang kerap terjadi di area kampus bukanlah hal baru, banyak mahasiswa yang menganggap hal tersebut sudah biasa bahkan memplesetkannya menjadi tradisi mahasiswa.
Seperti halnya ungkapan salah seorang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum bahwa bentrok tersebut tidak asing lagi, “Kultur lamaji itu,” ungkap MF (inisial nama) saat berbincang dengan tim alanbantik pada Rabu, 30 Maret 2022, lalu.
“2018 dakwah syariah, 2014 saintek syariah, dan 2022 saintek syariah”, lanjutnya.
Menilik kebelakang, bentrok antar mahasiswa UIN Alauddin Makassar sudah banyak mengukir cerita. Pada tahun 2014 tawuran terjadi antara mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi dengan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum. Pada tahun 2015 antara Fakultas Dakwah dan Komunikasi dengan Fakultas Sains dan Teknologi. Pada tahun 2016 terjadi lagi bentrok yang melibatkan Fakultas Sains dan Teknologi dengan Fakultas Syariah dan Hukum, dan seperti yang terjadi pada Selasa, 29 Maret 2022 pekan lalu, kedua fakultas tersebut terlibat aksi tawuran lagi. Pada 2018 terjadi bentrok antara mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi dengan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, dan pada tahun 2019 sebelum memasuki masa pandemi terjadi bentrok antara Mahasiswa Pecinta Alam Sultan Alauddin (MAPALASTA) dengan mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST).
Salah seorang mahasiswa angkatan 2016 Fakultas Syariah dan Hukum, Nahdlatul Aries Ardiansyah menyayangkan terjadinya kejadian bentrok kemarin karena tentunya merugikan.
“Kalau secara umum sih suatu hal yang disayangkan. Apa lagi dengan terjadinya insiden seperti itu, justru membuat banyak hal yang tertunda semisal dari akademik, yang awalnya kampus sudah mulai offline dan sekarang aktifitas di kampus ditiadakan. Bahkan kerugian dari infrastruktur yang menyebabkan kerugian materi kampus dan kerugian pribadi mahasiswa,” ucapnya pada Sabtu, 2 April 2022.
Tanggapan Presiden Mahasiswa (Presma) UIN Alauddin Makassar
Zulkarnaen selaku presiden mahasiswa beranggapan bahwa bentrok yang seperti tradisi lama ini harusnya tidak untuk dipertahankan.
“Bentrok ini seakan sudah menjadi tradisi dari setiap tahunnya , dan seharusnya tradisi seperti itu tidak untuk di pertahankan. kita sebagai kampus peradaban harusnya mencerminkan perilaku yang baik bukan malah sebaliknya. Apalagi kita sebagai mahasiswa merupakan agent of change (agen perubahan),” ungkapnya saat dihubungi oleh tim alanbantik via Online pada 1 April 2022.
Dalam bentrok pekan kemarin, pihak presiden mahasiswa mengatakan bahwa ia telah berusaha untuk melakukan tahap mediasi dari kedua belah pihak yang melakukan bentrok namun di tolak oleh salah satu pihak tersebut.
“Usaha ada, dan kemarin kami selaku presiden mahasiswa beserta pengurus lainnya bersama untuk mediasi kedua pihak hanya saja dengan mediasi yang kami lakukan itu kurang di respon dengan salah satu pihak karena beberapa alasan tersendiri,” ujarnya.
Lebih lanjut presma mengutarakan bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh Rektor UIN Alauddin Makassar kurang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ada.
“Saya rasa aturan yang dikeluarkan oleh pimpinan itu bukan salah satu jalan yang tepat untuk meliburkan kampus (menutup kampus), karena dari sekian banyak mahasiswa yang ada di UIN itu menjadi suatu hambatan tersendiri jika kampus diliburkan (ditutup) apa lagi bagi mahasiswa semester akhir,” tutur Zulkarnaen.
Zulkarnaen juga beranggapan seharusnya pihak birokrasi dapat memediasikan hal tersebut sebelum mengambil keputusan untuk menutup kampus, yang berakhir mahasiswa kembali belajar online.
Di akhir percakapan, Zulkarnaen berharap agar seluruh elemen yang ada di kampus peradaban tersebut dapat menjaga nama baik kampus bukan sebaliknya.
“Harapan saya mungkin untuk semua elemen yang ada di kampus UIN itu bagaimana bisa kita sama-sama menjaga nama baik kampus bukan malah merusak nama baik kampus kita,” tutupnya.
Penulis:
Ria Rahmayana, Usfa DP, Hidayatullah (Reporter)
Editor:
Tim Redaksi