Aturan Suka-Suka Rektor
alanbantik- Manuver Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Hamdan Juhannis mewajibkan mahasiswa meminta izin sebelum menyampaikan aspirasi memicu gelombang protes mahasiswa. Kebijakan tersebut dinilai menyalahi prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) lantaran menghalang-halangi kebebasan berpendapat di muka umum.
Gelombang protes tersebut dibalas pihak kampus dengan mengeluarkan surat skors terhadap 27 mahasiswa, sebagian besar dari mereka dicurigai sebagai dalang pergerakan. Salah satunya merupakan Ketua Dewan Mahasiswa atau Presma UIN Alauddin Makassar Fadil Musaffar.
Kebijakan ‘refresif’ tersebut membuat gelombang protes terus terjadi. Rentetan huru-hara di UIN Alauddin Makassar pun pecah di sepanjang Agustus hingga awal September 2024.
Apa yang terjadi? alanbantik merangkumnya untuk Anda:
Surat Edaran Kontroversial
Rektor Hamdan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 259 pada 25 Juli 2024 tentang syarat penyampaian aspirasi mahasiswa harus melalui izin. Terdapat tujuh poin yang menjadi syarat penyampaian aspirasi mahasiswa UIN Alauddin Makassar.
Pada poin satu bagian C menerangkan bahwa pelaksanaan penyampaian aspirasi mahasiswa wajib dilakukan secara bertanggung jawab melalui surat penyampaian kepada pimpinan Universitas atau Fakultas sekaligus mendapat izin tertulis dari pimpinan universitas atau fakultas, pengajuan surat izin paling lambat 3×24 jam.
Mahasiswa Tolak SE 259
Jika merujuk pada UUD Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, Pasal 1 Nomor 3 menyatakan bahwa Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 juga diatur soal tata cara penyampaian pendapat di muka umum, yakni wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Sehingga tidak ada aturan tertulis yang menyatakan penyampaian pendapat harus melalui izin.
Bahkan, pada kegiatan yang diselenggarakan di dalam kampus tidak perlu pemberitahuan secara tertulis kepada pejabat kepolisian setempat.
27 Mahasiswa Kena Skors
Aksi tersebut menjadi awal memilukan bagi mereka yang ingin mengemukakan pendapat secara bebas dan kritis di ruang akademik. Rektor dinilai memilih jalan pintas dengan membungkam suara mahasiswa melalui Surat Keputusan (SK) Skorsing yang dilayangkan kepada para peserta aksi .
Terhitung, mahasiswa telah melakukan aksi terkait surat edaran 259 sebanyak 7 kali mulai dari 31 Juli, 1-2 Agustus, 5 Agustus, 23 Agustus, 26 Agustus 2024 dan 2 September 2024. Adapun jumlah mahasiswa diskorsing sebanyak 27 orang dari 7 Fakultas.
Salah satunya Mahasiswa FDK jurusan Ilmu komunikasi, Zulfikar. Ia mengaku dituduh sebagai pemimpin orasi dan mobilisasi massa. Menurut Zulfikar, dirinya tidak terlibat dalam aksi demonstrasi. Akibat tuduhan tersebut korban diskorsing selama 1 semester.
“Tuduhanku saya yang adakan orasi dan saya mobilisasi massa padahal tidak, makanya ku sanggah ji di situ toh bilang nilai darimana ini bilang saya yang orasi, apakah ada bukti dokumentasinya terus ku minta mi katanya tidak ada,” ucapnya.
Melayangkan surat skors kepada mereka yang memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya secara tidak langsung melumpuhkan demokrasi di kampus. Kampus selayaknya menjadi garda terdepan memberikan perlindungan terhadap kekerasan pada mahasiswa, namun dalam berbagai rekaman video aksi yang beredar kekerasan fisik justru dilakukan oleh sekuriti kampus.
PBHI Sulsel Turun Tangan
Setelah melakukan berbagai usaha untuk terus menyuarakan pencabutan SE 259. Mahasiswa melakukan optimalisasi pergerakan dengan menggandeng Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Kepala Divisi Litigasi dan Perkara PBHI Sulsel, Syamsul Rijal mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik inisiatif mahasiswa atas dasar Hak Asasi Manusia dan Kebebasan berpendapat.
“Itu bagian dari prinsip prinsip hak asasi manusia, itu sudah dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang 39 tentang Hak Asasi Manusia,” ucapnya dalam wawancara langsung bersama tim alanbantik di Kantor PBHI Sulsel pada tanggal 27 Agustus 2024.
Pihaknya mengatakan akan berkomitmen untuk terus dan tetap mengawal terkait dengan SE dan SK Skorsing Mahasiswa agar kejadian yang sama tidak terulang kembali untuk generasi selanjutnya.
Rocky Gerung Beri Sentilan Menohok
Rocky Gerung membuka suara hingga melontarkan kritik yang kejam. Dengan tegas, Rocky Gerung menyatakan bahwa tindakan rektor tersebut sangatlah keliru dan bertentangan dengan prinsip-prinsip akademik.
“Di dalam modus kritisisme yang sama dia di Skors, apa bedanya Pak Sultan dengan mahasiswa. Dua-duanya sivitas akademika semua sivitas akademika punya hak yang sama hak akademis yang sama untuk mengucapkan pikiran, itu dasarnya. Jadi Rektornya gak tau apa yang disebut Sivitas Akademika,” tegas Rocky 29 Agustus 2024.
Rocky Gerung juga menyoroti pentingnya peran rektor dalam mendorong tumbuh kembangnya pemikiran kritis di kalangan mahasiswa.
“Mimbar akademisi itu mimbar semua orang di dalam kampus yang punya dalil bukan mimbar profesor bukan mimbar rektor karna itu disebut mimbar akademisi semua di ucapkan dengan kekuatan argumen kalau dia punya sentimen artinya dia nggak mampu memakai argumen,” paparnya.
Hamdan juhannis enggan menemui massa aksi. Birokrasi kampus bersikeras menolak secara tegas pencabutan SE 259 dan SK Skorsing kepada 27 mahasiswa yang bersuara kritis.
“Saya kembali menegaskan bahwa surat edaran sampai hari ini dan seterusnya, saya tidak tau, entah kapan berdasarkan pertemuan-pertemuan pimpinan di dalam UIN Alauddin itu tidak akan dicabut, begitu juga anak-anakku yang diskorsing,” tegas Wakil Rektor 3, Muh. Halifah Mustamin pada demo terakhir, Senin 2 september 2024.
Pada 5 September 2024, tim alanbantik masih berupaya untuk mendapatkan kejelasan dari rektor. Ketika berada di Gedung Rektorat, pihak Humas mengarahkan tim mengonfirmasi Dewan Kehormatan, namun pihak Dewan Kehormatan kampus belum dapat ditemui.
Penulis: Nirwana Ulfah dan Dinda Rezky Audia
Editor: Tim Redaksi