Opini: Narasi Beras
Kehidupan manusia berdenyut di ruang dapur. Dapur tidak hanya karib dengan kehidupan perempuan tetapi juga para perantau.
Irna H. N. Hadi Soewito menceritakan kehidupan Soewardi Soerjaningrat bersama Tjipta dan Douwes Dekker di bukunya Soewardi Soejaningrat dalam pengasingan, 1991. Saat itu Belanda tengah dalam masa guncang.
Perang sedang berkecamuk di kawasan Eropa. Pada suatu hari, mereka mengadakan musyawarah dan mufakat untuk merubah cara hidup mereka. Nasi yang merupakan hidangan mewah di negeri tersebut, mulai hari itu harus ditinggalkan dan menggantinya dengan roti yang merupakan makanan rakyat disana.
Betapapun sibuknya mereka dengan pekerjaan jurnalistik, namun mereka pun harus turut bergilir dalam tugas memikiran belanja dan memasak. Kondisi ini terjadi setelah Soertatinah diterima sebagai guru di Frobel School di Weinmaar, Den Haag.
Lepasnya kehidupan perempuan dari dapur membentuk kehidupan dengan siasat serba baru. Para lelaki memasuki ruang dapur dengan kompromi.
Menjaga jarak dengan makanan tradisional bangsanya dan menerima tradisi pangan liyan sebagai pilihan untuk bertahan hidup. Perang Eropa menjauhkan tradisi nasi dari kehidupan para perantau Indonesia di negeri penjajahnya.
Kondisi ini berbeda dengan biografi Dimas Suryo dalam novel Pulang karya Laela S. Chudori. Dapur menjadi kerajaan kecil Dimas sebagai perantau. Ia menghadirkan nasi goreng untuk menghidangkan tradisi Indonesia di Eropa.
Lelaki perantauan memasuki dapur dan membentuk kehidupannya dalam bumbu dan perkakas dapur.
Nasi tidak hanya menjadi pertaruhan identitas bagi mereka yang tengah bergelut nasib di tanah rantau, namun juga menjadi pertaruhan hidup.
Tradisi pangan dan perempuan
Perempuan Bali identik dengan dapur dan beras. Tradisi selamatan dan upacara keagamaan menghadirkan pangan dalam ruang identitas manusia Bali.
Sinta dalam Si Reka Anak Bali menuturkan: Orang laki-laki yang membawa bunyi-bunyian duduk mencangkung. Lalu orang perempuan yang membawa padi, menghamburkan padi itu di muka dan di tangga puri.
Pengiring buah-buahan, kue-kue, nasi serta lauk-pauknya dan bunga-bungaan masuk ke dalam puri menyajikan segala pujian kepada Dewi Sri.
Padi adalah persembahan untuk dikembalikan ke rahim bumi dan ditempat peribadatan sebagai persembahan kepada Dewi Padi.
Perempuanlah yang melakukan persembahan itu. Perempuan menjadi simbol penjaga tradisi pangan.Perempuan tidak hanya hadir dalam upacara di depan publik, tetapi juga tetap berkutat di dapur.
Di rumah ibu sedang sibuk menyediakan makanan untuk para pengiring.
Ayah duduk bercakap-cakap dengan para tamu. “Mari kita dapati ibu. Ini tampah. Mintalah nasi dengan lauk-pauknya.”
Ibu menjadi tempat pangan dialurkan.
Ibu dan dapur menjadi sumber sedekah. Nasi mengitari kehidupan ibu dan tradisi di tanah leluhurnya sendiri. Keakraban perempuan dengan dapur dan narasi beras muncul dalam dongeng anak.
Dalam kisah Sangkuring dari Jawa Barat, Nyi Dayang Sumbi memukul Sangkuriang dengan alu saat ia marah manakala mengetahui Sangkuriang membunuh anjing mereka, Si Tumang, yang konon adalah ayahnya sendiri. Alu menandai kesendirian dan kehilangan.
Alu adalah pasangan lesung untuk menumbuk beras. Alu dan lesung memisahkan kulit butir padi dengan kulit beras.
Dimasa lalu, suara yang tercipta dari alu dan lesung menjadi penanda waktu. Pagi telah tiba, matahari hendak menyapa.
Roro Jonggrang mengunakan suara alu dan lesung dan kokok ayam jantan sebagai siasat atas penolakannya kepada Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso yang murka mengutuknya menjadi batu. Patung Roro Jonggrang di Candi Prambanan tidak sekedar menjadi sebuah cerita cinta, namun juga mengisahkan perkakas trasional penumbuk beras saat mesin selep padi mengantarkan tanda titik pada narasi alu dan lesung.
Dalam kisah Jaka Tarub-Nawangwulan. Sebutir beras mengisahkan kelimpahan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Namun, keinginan Ki Ageng Tarub untuk menguak misteri sebutir beras yang menjadi seperiuk nasi membawa peristiwa kehilangan dan duka cita.
Ki Ageng Tarub yang terhormat, memiliki sawah luas dan panen mencukupi pun terluka. Disebabkan rahasia yang disimpannya di lumbung padi, tempat ia menyimpan selendang bidadari yang dulu dicurinya.
Nawangwulan merasa diperdayai dan memutuskan pulang ke Kahyangan. Jaka Tarub kehilangan istri tercinta, Nawangsih kehilangan seorang ibunda.
Kepulangan Nawangwulan ditolak penduduk langit dan dirinya diembani tugas sebagai panguasa Laut Selatan. Legendanya mengabadi, kita kemudian mengenal Nawangwulan sebagai Nyi Roro Kidul. Memagari kehidupan pesisir selatan Pulau Jawa.
Padi, beras, nasi berurusan dengan manusia dan cerita. Membawa tubuh perempuan dan dapur, juga segala isi dan perkakasnya. Kisah dan mitologi kultur manusia dalam etnis tertentu juga berhidup didalamnya. Menyatu dalam gerak keseharian kita dari masa yang telah lama. Manusia Indonesia berwaktu bersama narasi beras. Tradisi manusia nusantara tiada lekang dalam cerita buliran-buliran beras dan sebakul nasi panasnya.
“Penulis merupakan mahasiswa jurusan jurnalistik fakultas dakwah dan komunikasi angkatan 2017.