Menyalib Tasbih
Sudah lima hari Halimah terluntang-lantung di jalanan. Dengan tujuan yang masih belum dia ketahui mau kemana, dan bagaimana jalan hidupnya nanti. Sebuah kejadian di kampung halamannya memaksanya untuk melarikan diri sampai sejauh ini.
Pakaian yang berhari-hari tak pernah terganti, wajah yang kusam akibat polusi jalanan semakin membuat Halimah terlihat seperti pengemis. Sudah tidak ada yang dia miliki kecuali sebuah jam tangan, pakaian yang melekat di tubuhnya dan sehelai kain yang menutupi kepalanya. Perihal makanan, Halimah hanya mengandalkan belas kasih dari orang-orang yang melewatinya.
Tempat tinggal yang tak menentu membuat dia setiap hari harus merasakan kelelahan berjalan untuk mencari tempat bernaung sementara. Entah mau sampai kapan Halimah akan bertahan di kota besar ini, kota yang ramai penduduk, tapi semakin banyak orang yang terlihat semakin Halimah merasa bahwa dia hanya seorang diri.
Halimah melihat jam tangannya.“Sudah waktunya, tapi dimana?. ”
Halimah mencoba mencari-cari tempat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah, tapi sejauh kaki melangkah Halimah tak menemukan satupun masjid. Sepanjang jalan Halimah hanya melihat rumah dan tokoh yang berjejeran serta gereja. Penyesalan terbesar akibat pelarian ini Halimah tak bisa dengan bebasnya bertemu dengan Tuhan.
“Maaf tuan,” Halimah tersenyum.
“Apakah saya boleh menumpang di toko ini?”
Tak ada satu katapun yang keluar dari pemilik toko itu, hanya tatapan mengintimidasi yang Halimah dapatkan.
“Hanya lima menit tuan, “ Halimah berusaha meyakinkan
“Maaf toilet saya sedang rusak, kalau mau buang air kecil di depan sana ada wc umum, ” kata pemilik toko itu dengan nada sedikit kesal
Halimah tahu, tidak akan ada orang yang ingin menampungnya walau hanya sebentar. Penampilan buruk membuat orang-orang menghindari Halimah dengan berbagai alasan. Terusir seperti itu tak membuat Halimah merasa marah atau apapun, sebelumnya Halimah telah merasakan sakitnya dilempar makanan sampai Halimah merasakan hinanya dituduh pencuri.
Dengan tatapan lurus ke depan Halimah tetap melangkah menyusuri jalan, berpapasan dengan tatapan memuakkan dari orang-orang sudah tak asing lagi bagi Halimah.
“Assalamualaikum,” sapa seseorang
Melihat siapa yang mengucapkan salam kepadanya membuat Halimah hanya berdiri diam dan perlahan melangkah mundur
“Maaf kalau tidak keberatan, kau bisa beribadah di tempatku, ” kata orang itu dengan senyum tulusnya
“Di gereja?” tanya Halimah
Anggukan pelan dari orang itu membuat Halimah kaget. Bagaimana bisa dia melaksanakan sholat dan bertemu dengan Tuhan di tempat yang tidak seharusnya. Ditambah lagi Halimah harus menghindari sesuatu yang berhubungan dengan apa yang terjadi di kampungnya.
“Tidak usah sungkan,”-mengulurkan tangannya ke depan-“namaku Maria”
Maria adalah seorang biarawati yang bekerja di salah satu gereja di sekitar kota itu. Wanita yang memakai kacamata dan tak lupa kerudung suster yang menutupi sebagian rambutnya membuat siapa saja yang melihatnya langsung tau tentang pekerjaan maria termasuk Halimah sendiri.
“Ini adalah hari rabu jadi tidak ada acara keagamaan yang akan berlangsung dan gereja tentunya kosong, kalau kamu mau kamu bisa beribadah di sana” masih dengan senyumnya Maria mencoba menawarkan Halimah
Jika dilihat dari sisi lain, di tengah padatnya terotoar dengan pejalan kaki berdiri dua orang wanita dengan latar belakang keyakinan yang berbeda,sungguh pemandangan yang indah bagi mereka yang mengerti makna perbedaan.
“Terima kasih tawarannya aku akan ikut kamu”
Tak ada pilihan lain, melihat waktu yang terus berputar Halimah harus mengambil sikap untuk mempertahankan tekadanya bahwa tidak boleh satu pun rakaat sholat yang tertinggal, dengan langkah yang ragu dan hati yang kuat halimah menuju gereja.
Tidak membutuhkan waktu lama akhirnya Maria dan Halimah sampai di tujuannya yaitu sebuah gereja. Bangunan megah dengan lampu gantung di atapnya,serta tanda salib di setiap sudut gereja membuat Halimah tak henti-hentinya menjelajahi ruangan itu.
“Sebaikanya kamu berganti pakaian dulu, di lemari sana ada beberapa pakaian yang modelnya tertutup” kata Maria sambil menunjuk sebuah lemari di sudut ruangan
Maria melepas kerudung susternya “untuk kerudung kamu bisa memakai punyaku dulu” lanjut Maria.
Dengan sigap Halimah mengganti pakaiannya dan membentuk kerudung milik Maria menyerupai kerudung yang biasa dia pakai. Untuk pertama kali dalam hidupnya Halimah merasa berdosa saat menjalankan sholat, setiap gerakan sholat membuat Halimah tidak tenang, sujud untuk menyembah allah di depan sebuah patung yesus adalah hal yang tak pernah Halimah bayangkan.
Setelah sholat Halimah kembali mengganti pakaiannya dan menghampiri Maria yang menunggu di luar gereja. Sekitar tiga puluh menit Halimah dan Maria bercerita di taman samping gereja,mulai dari keseharian masing-masing sampai pada akhirnya maria menanyakan alasan Halimah pergi dari kampung halamannya.
“Di kampung halamku mayoritas penduduknya adalah non muslim seperti kamu,”-Halimah sejenak menatap Mariah-“ jika ingin menghitung perbandingannya bangunan masjid hanya ada satu di kampung saya sisanya gereja megah berjejeran, maka dari itu waktu saya jarang melihat masjid ada di kota ini saya tidak kaget sedikitpun”
“Terus apa yang jadi permasalahnnya?” tanya Maria yang masih penasaran
Halimah mencoba untuk bercerita, menatap lurus ke depan menerawang apa yang terjadi waktu itu
“Kedua orang tua saya sehari-hari kerjanya sebagai tukang bersih-bersih gereja, ‘meskipun keluarga kita muslim tapi tak ada salahnya untuk membersihkan tempat ibadah orang yang tak seagama dengan kita’ seperti itulah yang selalu dikatakan oleh orang tuaku. Saya pikir apa yang dikerjakan orang tua saya tidak menimbulkan kerugian apapun. Saya yang dulunya merasa tenang-tenang saja hidup berdampingan dengan mereka yang beda agama seketika berubah pikiran,” Halimah menarik nafas panjang di akhir katanya
“Kalau kamu tidak ingin menceritakan tidak apa-apa, saya paham” kata Maria mencoba untuk menenangkan
“Setelah orang tua saya melihat para jama’at melaksanakan ibadah, hari itu juga mereka memberi tahu saya bahwa mereka ingin pindah agama. Entah apa yang ada di pikiran orang tua saya.
Dengan susah payahnya saya berusaha untuk membuat mereka kembali ke keyakinan kami sebagai muslim tapi tetap saja mereka menolak,”-Halimah menunduk rapuh-“ semakin hari orang tua saya berubah sikap, seakan-akan tak bisa menerima saya yang berbeda keyakinan dengan mereka, itulah yang membuat saya ingin pergi dari sana.” Tangis yang berusaha ditahan akhirnya pecah begitu saja
“Saya akui masalah kamu bukanlah masalah yang mudah di selesaikan. Meski tidak mutlak tapi yang namanya keyakinan adalah bagian yang sensitif bagi setiap orang. Tidak ada yang bisa menebak isi hati dan pikira seseorang kecuali tuhan, aku pikir kamu juga tau itu kan?”-Maria melepas kacamatanya-“ tapi jangan sampai pikiran kamu tertutup, menyalahkan mereka yang sebenarnya juga tak tau apa-apa. Saya adalah biarawati dan suami saya adalah seorang ustadz, kami menikah sudah 10 tahun. Kamu menegrti kan maksud saya”
Sebuah tatapan yang penuh makna membuat Halimah tak bisa berkutik. Kebencian yang menguasai hati perlahan memudar. Tidak ada yang lebih indah di dalam kehidupan kecuali menerima perbedaan yang ada.
Penulis : Jaratimi Annisa