Pulang untuk Ikat Buras, Begini Filosofi Buras!
alanbantik – Libur nasional dan cuti bersama hari raya Idul Fitri 1444 H kini ditetapkan pada tanggal 19 sampai 25 April 2023 mendatang. Beberapa orang mulai melakukan mudik untuk pulang ke daerah masing-masing. Khusus di Sulawesi Selatan (Sulsel) beberapa orang menganggap mudik adalah cara meluapkan rindu setelah sekian lama hidup di perantauan atau sekedar kata pulang untuk membantu Ibu mengikat buras atau burasa dalam istilah Bugis-Makassar.
Namun tahukah kamu bagaimana filosofi dari buras itu?
Buras merupakan salah satu makanan khas Sulawesi Selatan yang berbahan dasar beras dan santan yang dibungkus dengan daun pisang. Biasanya buras ini akan diikat dengan kencang menggunakan tali lalu direbus kurang lebih selama 4 sampai 5 jam. Makanan ini menjadi pendamping makanan berkuah pada saat momen hari raya Islam.
Melansir dari video tiktok @Nigelaid pada Rabu, 19 April 2023, burasa memiliki sejarah yang cukup unik karena pada zaman dahulu buras dihidangkan untuk lelaki Bugis dan Makassar yang merantau atau berlayar ke pelosok nusantara untuk mengumpulkan uang panai’(mahar pernikahan) dimana mereka disebut dengan pelaut ulung (perantau handal).
Dahulu, pelaut ini membawa nasi dengan lauk ikan. Namun ternyata makanan tersebut tak dapat bertahan lama dan cepat basi sehingga para wanita mencari solusi pengganti bekal dengan memasak beras ketan yang dibungkus daun pisang kemudian direbus lama agar tidak cepat basi.
Buras biasanya dijumpai dalam bentuk pipih dengan dua bagian yang disatukan yang diartikan sebagai penyatuan dan solidaritas sehingga membentuk nilai sipakatau (saling menghargai), sipakalebbi (saling memuliakan) dan sipakainge’ (saling mengingatkan).
Oleh karena itu terdapat istilah sejauh mana engkau pergi, pulanglah untuk mengikat buras. Diartikan bahwa sejauh apapun seseorang merantau baik untuk bekerja atau menuntut ilmu maka jangan lupa adat budaya, keluarga, dan kampung halaman.
Penulis: Hasrini (Reporter)
Editor: Tim Redaksi